Shibou Endo o Kaihi Shita – Chapter 19
Chapter 19 – Terima kasih–––
Terkunci 🔒
Menghitung mundur...
Chapter ini akan terbuka otomatis pada .
Atau kamu bisa membaca chapter ini di sini.
Trakteer
Chapter 19 – Terima kasih–––
“Capeknya… Tapi kenapa ya kuliah membosankan begini… Padahal kupikir akan lebih menyenangkan”
“Mau bagaimana lagi. Profesor adalah ahli dalam penelitian, bukan ahli dalam mengajar. Untuk bisa merasa menarik, kita perlu mengumpulkan pengetahuan dulu. Ngomong-ngomong, apa-apaan orang-orang yang mengajak ngobrol saat kuliah…”
“Yah, yang serius memperhatikan kuliah justru yang langka sih~ Benar-benar menyebalkan, banyak monyet yang hanya mencari jodoh~”
“Aku langsung membuat mereka diam dengan bilang ‘sudah punya pacar’ lho”
“… Bukannya itu curang?”
“Oh? Di ‘Perjanjian Empat Gadis Tercantik’ gak ada larangan soal itu kan?”
“Reina-san memang jenius dalam mencari celah ya”
“Aku juga akan melakukan itu mulai besok~”
Waktu menunjukkan pukul 18:00.
Jadi terlambat begini karena menemani Satsuki yang ada kelas sampai periode ke-5.
Angin sepoi-sepoi berhembus di plaza depan stasiun terdekat, dan kelopak bunga sakura menari-nari.
Di wajah orang-orang yang terus keluar dari gerbang tiket terlihat rasa lelah bercampur lega.
Hari ini Jumat.
Sepertinya ekspresi orang-orang menjadi cerah karena besok libur.
Kami juga tidak terkecuali.
Tapi hebat juga ya, padahal baru saja terjadi hal seperti itu, tapi masih bisa mengobrol seceria ini…
Aku teringat kejadian di lift.
Aku terkejut melihat para heroine [LoD] yang tidak bisa meningkatkan tingkat kesukaannya bisa membenci protagonis sampai seperti itu.
Di game, semua heroine yang tidak bisa bersatu dengan protagonis berakhir dengan kematian, jadi ini seperti melihat setting di balik layar, tapi ekspresi mereka berempat saat menghajar Sano di bagian akhir sangat menakutkan sampai aku hanya bisa diam.
Yang lebih menakutkan lagi, meski sudah melakukan hal seperti itu, saat makan ramen mereka bersikap seperti biasa.
Padahal tadi ada darah mengalir lho?
Yah, mungkin bukan itu yang perlu dipikirkan…
Kami berlima berjalan di sepanjang jalan.
Dalam keheningan, hanya suara mereka berempat dan roda kursi roda yang samar terdengar.
Tidak ada siapa pun di sekitar.
Tiba-tiba, dari kejauhan terdengar bunyi peringatan palang kereta api, menggetarkan udara.
Kemudian, suara gemuruh kereta api mendekat membelah angin, melewati kami sambil mengguncang rel.
Cahaya yang masuk dari jendela menyinari kami secara terputus-putus, dan setelah getaran dan suara berlalu, keheningan kembali menguasai.
Seolah dunia sedang mempersiapkan panggung untukku.
“Naa, Satsuki…”
“Hm? Ada apa, Satoshi-kun?”
“Ada yang ingin kusampaikan pada semua, bisa tolong putar kursi rodaku menghadap ke belakang?”
“Baiklah!”
Satsuki memutar kursi rodaku dengan terampil dan aku berhadapan dengan mereka berempat.
Mereka menungguku dengan ekspresi bingung.
Kupikir ini kesempatan terakhir untuk mengatakan “Nggak apa-apa” dan menjadikannya lelucon.
Aku bisa saja menertawakan cerita Sano, mengalihkan pandangan dari perasaan sebenarku, dan memperpanjang kehidupan sekarang ini walau hanya sehari.
Tapi–––
“Aku gak butuh perawatan kalian lagi. Jalani hidup kalian masing-masing sesuai keinginan kalian. Terima kasih untuk selama ini”
Setelah menampilkan senyum sebaik mungkin, aku menundukkan kepala dalam-dalam hampir menyentuh lutut sambil mengucapkan terima kasih.
“Kami… sudah nggak dibutuhkan? Gak diperlukan…?”
Satsuki bertanya padaku dengan nada suara yang seperti akan jatuh ke kegelapan.
Saat aku mengangkat wajah, kilau di mata mereka semua telah hilang.
Aku tidak boleh tenggelam di sini.
“Bukan begitu. Aku senang kalian ada di sini, bahkan kalau bisa aku ingin kalian tetap di sisiku selamanya”
“Lalu, kenapa…?”
Aku menarik nafas dalam.
Kata-kata yang sudah sampai di tenggorokan berkali-kali kembali ke perut.
Menyakitkan.
Aku tidak ingin mengatakannya.
Tapi, aku tidak bisa berhenti di sini.
“Aku… sangat membenci orang yang membelokkan hidup orang lain demi kepentingan pribadi… Tapi aku yang paling gak bisa memaafkan diriku sendiri yang sangat buruk ini, yang bersembunyi di balik posisi absolut dan indah sebagai ‘penyelamat hidup’ dan memasang kalung yang gak bisa dilepas sendiri pada kalian semua…”
“–––”
“Karena itu, sudah cukup. Mulai sekarang aku akan melakukan semuanya sendiri. Kalian gak perlu merasa bersalah. Lupakan saja aku, dan jalani hidup kalian sesuai keinginan. Tolong bebaskan diri kalian. Kumohon”
Aku kembali menundukkan kepala.
Pada akhirnya, ini juga demi diriku sendiri.
Aku tidak ingin lagi tersiksa oleh rasa bersalah karena telah membelokkan hidup orang lain.
Aku ingin berakhir sebagai pahlawan yang menyelamatkan para gadis.
Reina memang mengatakan bahwa mereka tidak berada di sisiku hanya karena rasa bersalah, tapi pada akhirnya aku mengutamakan egoku sendiri.
Keinginan sepihak yang egois.
Karena aku mengabaikan semua perasaan mereka yang bahkan merasa lebih bersalah dariku.
“… Kamu baik ya, Satoshi-kun”
“… Bukan begitu. Menurutku aku sangat buruk”
Kemudian terdengar helaan nafas disertai senyum kecil.
“Ini permintaan Satoshi-kun sendiri kan. Aku ingin mengabulkannya, tapi maaf ya? Hanya itu yang gak bisa kami kabulkan”
“… Kenapa–––?”
Saat aku mengangkat wajah untuk menanyakan kenapa Satsuki tidak menuruti kata-kataku, pandanganku terfokus pada tangan Satsuki.
“Karena kami gak tahan melihat Satoshi-kun terus menyakiti dirinya sendiri, aku, kami semua akan mengaku”
“Nggak, kenapa itu…!?”
Itu adalah “buku harian”ku, satu-satunya kebiasaanku sejak SMA.
Sampulnya sudah pudar, sudutnya sudah aus dan membulat lembut, jejak perjalananku.
Ternyata buku yang kukira hilang ada pada Satsuki.
Meski pertanyaan membanjir seperti air bah dari dalam perutku, mulutku sama sekali tidak bisa bergerak.
Melihatku seperti itu, Satsuki tersenyum canggung.
“Maaf ya. Aku mengambilnya tanpa izin di hari kamu mengalami kecelakaan”
“Eh…”
“Aku sudah membaca isinya. Tentang [LoD], tentang ‘Kekuatan Koreksi Dunia’, tentang ‘Saionji Satsuki’, semuanya… aku sudah tau semuanya”
“–––”
Melihat Shino, Shuna, dan Reina, sepertinya mereka juga tau isi “buku harian”ku seperti Satsuki.
Kekuatan mengalir keluar dari tubuhku.
Satsuki membalik halaman “buku harian”ku dengan penuh kasih sayang dan mulai berbicara dengan suara lembut.
“Satoshi-kun. Kamu selalu, sela~lu melindungi kami ya. Mendukung kami ya…… Sendirian”
“Ah…”
Kata-kata keluar satu per satu seperti membelai permata.
“Tapi maaf ya. Kami gak ingat apa-apa. Sampai membaca ‘buku harian’ ini, kami bahkan gak tau ada orang bernama ‘Iriya Satoshi’. Padahal yang mendukung kami adalah Satoshi-kun, tapi kami selalu salah mengira itu orang lain. Kami benar-benar buruk ya”
Bukan.
Itu karena “Kekuatan Koreksi Dunia”.
Karena itu tidak bisa dihindari.
Tapi meski sudah sampai di tenggorokan, kata-kata itu tidak bisa keluar.
“Yang kamu berikan pada kami, yang kamu lakukan untuk kami adalah cinta tanpa pamrih––– Sungguh, betapa kejam, sedih, dan gak terbalasnya perasaan ini…”
Kemudian, air mata muncul di wajah Satsuki dan dia menunduk.
“Tapi kami sudah tau… siapa yang telah menyelamatkan kami…”
Suara yang bercampur isak tangis itu bergetar.
Namun, Satsuki mengangkat wajahnya dengan kuat dan menatapku tajam.
“Setelah tubuhmu jadi serusak ini karena terus mendukung kami dari balik bayangan, mana mungkin kami bisa hidup dengan tenang sambil melupakanmu! Jangan meremehkan kami!?”
Sambil menahan air mata, Satsuki melanjutkan kata-katanya.
“Jangan suruh kami melupakanmu! Meski sudah melupakan segalanya, apa lagi yang harus kami lupakan!?”
Suara Satsuki semakin meninggi, banjir emosi meluap keluar.
“Kalau kamu minta tubuh kami, kami akan memberikannya!? Kalau kamu menyuruh kami mati, dengan senang hati kami akan mati sekarang juga!”
Sesaat hening.
Lalu, dengan suara bergetar, dia berkata.
“… Kumohon, jangan katakan hal-hal yang merendahkan nilaimu sendiri…! Jangan berpikir bahwa dirimu buruk…! Bagi kami kamu adalah pahlawan yang gak tergantikan dan–––orang yang kami cintai…?”
Air mata mengalir di pipi Satsuki.
Ketiga orang lainnya juga menatapku dengan ekspresi penuh tekad, seolah berbagi perasaan yang sama dengan Satsuki.
Aku terpana, duduk kembali dalam-dalam di kursi dan menunduk.
“–––Di kehidupan sebelumnya saat aku seorang NEET, aku gak punya tempat… Setelah bereinkarnasi pun, bahkan orangtua kandungku merasa takut dan menjauhiku…”
Hal-hal yang tidak bisa kukatakan pada siapapun mulai menetes seperti embun yang mengental.
Hatiku yang seharusnya tidak kubiarkan siapapun menyentuhnya mulai mencair sedikit demi sedikit.
Di kehidupan sebelumnya aku tidak punya tempat karena tidak berguna.
Di kehidupan ini aku berusaha hidup untuk orang lain menggunakan pengetahuan dari kehidupan sebelumnya, tapi hasilnya malah membuat orang takut dan aku kehilangan tempat lagi.
“… Kalau gak ada yang membutuhkanku, kupikir aku akan hidup sendiri saja. Tapi saat kusadari aku adalah [Iriya Satoshi], aku berjuang mati-matian agar nggak mati”
Kehidupan SMA-ku bisa diringkas sebagai “hidup agar tidak mati”.
Tapi–––
“Sebanyak apapun aku berusaha, prestasiku selalu diambil orang lain, dan meski untuk bertahan hidup, aku terus berpikir apakah ada artinya hidup hanya untuk mengabdi pada tokoh utama”
Setiap kali [Sano Yuto] dekat dengan para heroine, perasaan lega dan hampa menyerang dadaku.
Tanpa sadar aku menjadi terbiasa menganggapnya sebagai pekerjaan.
“… Saat bad ending sudah ditentukan dan gak bisa kembali lagi, aku gak mau mati begitu saja tanpa menyelamatkan siapapun. Karena itu, seenggaknya aku ingin meninggalkan bukti bahwa aku pernah hidup di [LoD], jadi kuputuskan untuk melakukan balas dendam dengan melibatkan semua orang”
Selama ini aku selalu sendirian.
Kesepian.
Menderita.
Terus berjuang tanpa diketahui siapapun, aku berpikir apakah ada artinya hari-hari tanpa mendapatkan apa-apa ini.
Perasaan seperti itu akan hilang semua kalau aku mati.
Terkadang aku bahkan berpikir kematian adalah penyelamatku.
Tapi sebenarnya aku ingin diketahui.
Aku ingin seseorang memuji hidupku.
Setiap hari aku hampir hancur oleh penderitaan yang tidak bisa kukatakan pada siapapun.
Aku ingin suatu hari nasibku yang sudah ditakdirkan untuk mati seberapa kerasnya aku berusaha akan mendapat balasan.
Saat itulah.
Tiba-tiba kehangatan lembut menyentuh seluruh tubuhku.
Kehangatan itu semakin kuat, lembut, memelukku.
“Sudah cukup. Satoshi-kun sudah berjuang dengan sangat baik. Karena itu, kali ini biarkan kami yang menyelamatkanmu. Ikatlah hidup kami dengan cinta”
Mengikat dengan cinta, bukan rasa bersalah.
Apakah itu benar-benar hal yang tepat?
Apakah boleh aku memaksakan hal yang egois dan mementingkan diri sendiri seperti itu pada mereka?
“Bolehkah aku melakukan itu…?”
“Tentu saja. Aku sudah siap sejak awal”
“Aku juga! Karena itu semangatlah~”
“Aku bisa hidup sampai sekarang berkat dirimu”
“Terima kasih untuk segalanya–––”
“Uh”
Kata-kata yang selalu kuinginkan.
Kata-kata yang berkali-kali kudoakan di lubuk hatiku.
Saat kata-kata itu sampai ke telingaku, dadaku terasa panas, dan air mata mulai mengalir.
Meski mencoba menahannya, aku tidak bisa.
Kata “terbalaskan” saja tidak cukup.
Berapa banyak perasaan yang kutahan demi momen ini–––
“Terima kasih” harusnya kata-kataku–––

✽✽✽✽✽
Author Note:
Terima kasih sudah membaca sejauh ini!
Jangan lupa [Follow] ya!
Jika memungkinkan, aku akan senang jika kamu kembali ke [Halaman Karya], dan menekan [⊕] di [Beri Penghargaan dengan ★] di [Ulasan] sebanyak tiga kali!