Shibou Endo o Kaihi Shita – Chapter 17


Chapter 17 – Pertemuan Tak Terduga

 

 

Aku terdaftar di Fakultas Ekonomi Universitas Liberal Arts.

Tidak ada alasan khusus memilih ekonomi.

Sejak kehidupan sebelumnya, aku selalu tertarik dengan ilmu ekonomi.

Entah karena prospek kerjanya bagus, atau karena ada image keren ketika belajar ekonomi.

Atau mungkin keduanya.

 

Bagaimanapun, yang kupahami sekarang adalah Fakultas Ekonomi sangat kental dengan nuansa eksak.

Para dosen yang notabene adalah ekonom dari latar belakang eksak mengharapkan mahasiswa yang masuk juga dari jurusan IPA, padahal siswa IPS swasta mana bisa mengerjakan Matematika III.

 

Setengah lebih dari perkuliahan adalah matematika.

Sungguh, aku penasaran bagaimana mahasiswa murni jurusan IPS bisa bertahan.

Tapi daripada memikirkan orang lain, sekarang lebih baik fokus pada diriku sendiri.

 

Gedung Barat 5 ruang 201.

Fakultas Ekonomi adalah fakultas terbesar dengan jumlah mahasiswa terbanyak.

Di tahun pertama banyak kuliah dengan peserta banyak, jadi wajar menggunakan ruangan terbesar.

 

Saat masuk aula seperti waktu upacara penerimaan, aku terkesima dengan luasnya ruangan.

Di langit-langit tinggi terpasang lampu-lampu rumit, cahaya lembut menyelimuti seluruh aula.

Di tengah auditorium tersusun kursi bertingkat, dengan meja panjang di setiap tingkatnya.

Tekstur kayu mejanya, meski sudah tua, memancarkan ketenangan yang menceritakan sejarah puluhan tahun.

 

Di atas podium terpasang speaker dan proyektor, dengan layar di dekat langit-langit seolah mengawasi para mahasiswa.

 

Aku ingin terkesima dengan suasana kuliah yang berbeda dari SMA, tapi tempat dudukku di paling depan.

Aku ingin melihat pemandangan dari kursi paling belakang, tapi karena sulit bergerak dengan kursi roda, aku menyerah.

 

Lebih dari itu–––

 

“Serius, bagaimana ini…”

 

Masalahku tidak ada habisnya.

Tentu saja, tentang “Empat Gadis Tercantik”.

 

Kalau kubilang ingin sendiri, mereka akan jadi gelap mata jadi aku tidak bisa mengatakannya, tapi membiarkan mereka berbuat sesuka hati juga bermasalah.

Yang terbaru adalah pesta perayaan masuk universitas.

 

Kami sangat menikmati suasana khas mahasiswa seperti minum-minum bersama dengan minuman keras yang kubeli diam-diam.

 

Tapi setelah itu, sangat sulit menyuruh mereka pulang…

 

Mereka menawarkan bantuan mandi dan tidur bersama, akal sehat dan nafsuku bergulat.

Hasilnya, akal sehat menang dan aku memaksa mereka berempat pulang.

 

Kalau hari itu adalah puncak kesulitanku, itu akan jadi kenangan indah, tapi setiap hari seperti ini membuatku tidak bisa tenang.

 

Yang terbaru adalah perpindahan kelas di universitas.

 

Karena tidak ada kelas tetap di universitas, setiap istirahat harus pindah ruangan.

Di SMA juga ada perpindahan kelas tapi hanya untuk pelajaran praktik atau eksperimen sains ke ruang laboratorium.

Pada dasarnya lebih banyak menghabiskan waktu di kelas sendiri.

 

Justru karena meremehkan itu, ternyata di universitas perpindahan kelas sangat banyak.

Kadang harus keluar dan pindah gedung, ini jadi pekerjaan berat untukku yang menggunakan kursi roda.

Di saat seperti itu seseorang yang sedang tidak ada kuliah akan datang membantu.

 

Ini sangat membantu.

Aku harus bersujud berterima kasih.

Tapi–––

 

“Tolong berhenti merengek…”

 

Mereka selalu merengek tidak mau berpisah denganku atau ingin ikut kuliah bersama.

Para dosen yang melihat mencoba menghentikan, tapi malah bertengkar, jadi histeris, Shino bahkan mencoba menggunakan kekuasaannya untuk memecat dosen dari universitas.

 

Akibatnya kuliah tidak berjalan, jadi pusat perhatian, perutku sakit.

Karena duduk di paling depan rasanya semakin parah.

 

Tidak bisa dapat teman, benar-benar merepotkan.

 

Kalau mereka berempat bertindak dengan niat jahat, aku bisa menolak mentah-mentah dan selesai, tapi kalau ini berasal dari kebaikan hati dan rasa bersalah yang berlebihan, aku juga tidak bisa berkata apa-apa.

 

“Syukurlah fakultas kami berbeda…”

 

Satu-satunya hal yang menyelamatkan adalah perbedaan fakultas.

Satsuki di Fakultas Hukum, Reina di Fakultas Sastra, Shuna di Fakultas Manajemen, dan Shino di Fakultas Politik.

Berkat itu setidaknya saat kuliah aku bisa menikmati waktu sendiri.

Meski tidak tertarik belajar, tapi kalau berpikir ini satu-satunya waktu bisa sendiri, rasanya menenangkan.

 

“Mereka bilang ada urusan penting saat istirahat siang kan. Selama itu aku harus cari teman…!”

 

Tidak punya koneksi sama sekali di fakultas itu berat.

Di SMA masih tidak apa-apa, tapi karena semuanya sangat berbeda antara SMA dan universitas, aku merasa tidak bisa sendirian.

Sayangnya, universitas lebih keras terhadap penyendiri yang tidak berinisiatif dibanding SMA.

 

Berpikir ini kesempatan terakhir, aku berniat berusaha mencari teman.

 

Tapi–––

 

“Gara-gara mereka aku jadi dijauhi…”

 

Tepat saat kuliah selesai, bel istirahat siang berbunyi.

Orang-orang langsung keluar membentuk barisan panjang.

Aku duduk di paling depan dekat pintu masuk.

Pasti bertatap muka saat keluar masuk, tapi kalau aku mencoba menyapa, mereka mengabaikanku dan cepat-cepat pergi.

Bahkan meski harus memutar, mereka keluar dari pintu belakang kelas.

 

Sudah komunikasiku menurun karena tiga tahun sendirian di SMA, perlakuan ini cukup menyakitkan hati.

Sekarang hampir tidak ada orang di kelas.

 

“Tapi tetap ingin punya setidaknya satu teman…”

 

Maaf kalau cara bicaraku buruk, tapi aku harus mencari teman seangkatan yang juga penyendiri.

Mereka yang gagal dalam debut universitasnya pasti juga ingin teman sepertiku.

 

Ayo, siapa saja tolong sapa aku! Aku akan traktir makan setiap hari!?

 

“Boleh bicara sebentar?”

 

Dataaang!

 

Entah doaku terkabul atau apa, seseorang menyapaku dari belakang.

Sejak bereinkarnasi ke dunia ini aku tidak pernah percaya Dewa, tapi kali ini saja aku berterima kasih.

 

Yang penting adalah kesan pertama.

Kalau kesan pertama buruk, tidak mungkin diakui sebagai teman.

Lagipula, aku sudah mengacaukannya.

Benar-benar situasi terdesak.

Aku harus menyambut dengan senyum terbaik yang kubisa.

 

“Se-senang bertem… eh… huh?”

 

Saat berbalik, di sana berdiri Sano Yuto––– orang yang punya hubungan khusus denganku, tidak, dengan kami, dan seluruh tubuhku membeku.

Tidak, aku tau dia di fakultas yang sama.

Saat itu aku sangat terkejut, tapi karena tidak ada hubungan langsung antara Sano dan aku, aku tidak berniat berurusan dengannya.

Meski begitu aku penasaran tapi mengalihkan pandangan, terus mengabaikan keberadaannya.

 

“Senang berkenalan, aku Sano Yuto”

 

“Ah, um, ya. Aku Iriya Satoshi. Mohon bantuannya”

 

“Haha, kita kan seangkatan? Gak perlu formal”

 

“Ah, kalau begitu, santai saja…”

 

Aku tidak menyangka orang yang membuat perasaanku paling kompleks di dunia ini akan menyapaku langsung.

Emosi yang kupendam dalam hati tiba-tiba meluap.

Bagi Sano ini pertemuan pertama jadi aku harus bersikap tenang.

Tapi jantungku berdebar kencang, dan tangan kananku yang seharusnya tidak bisa bergerak sedikit gemetar.

 

Melihat sekeliling, di auditorium luas hanya ada aku dan Sano seolah sudah diatur.

Biasanya ada beberapa orang yang tinggal untuk kuliah sore, tapi sekarang tidak ada siapa-siapa.

Ruangan sunyi mencekam.

 

“Aku dari SMA XX di Prefektur XX yang nggak terkenal, gak ada yang bisa diajak bicara. Kebetulan melihatmu jadi aku menyapa”

 

Sano yang memecah keheningan.

Dia menyapaku dengan senyum ramah.

 

Meski perasaanku sangat kompleks, Sano tidak tau apa-apa.

Karena dia menyapa dengan baik, aku juga harus menjawab dengan tulus.

 

“He-eh. Kebetulan sekali. Aku juga dari sekolah yang sama”

 

“Serius!? Eh, kamu mahasiswa yang mengulang?”

 

“Nggak, aku langsung masuk”

 

“Serius… gak kusangka ada teman seangkatan dari sekolah yang sama…”

 

Karena tidak perlu disembunyikan, aku menceritakan semuanya apa adanya.

Tapi karena harus berpura-pura kebetulan, aku tidak boleh lengah.

Tidak boleh keceplosan karena tau terlalu banyak.

 

“… Luka itu kenapa?”

 

“Hm? Oh, nggak. Aku ceroboh dan terluka. Haha, padahal belum masuk kuliah, apa yang kulakukan…”

 

“Kamu sial ya… hati-hati ya?”

 

“Eh? Oh, terima kasih”

 

Saat aku tertawa kering mengejek diri sendiri, aku terkejut Sano mengkhawatirkanku.

 

Ngomong-ngomong, aku selalu fokus pada para heroine, tapi tidak pernah memikirkan apa yang terjadi pada Sano setelah bad ending.

 

Anehnya, aku tidak merasakan aura menjijikkan yang dulu kurasakan dari Sano saat SMA.

 

Mungkinkah sebagai “protagonis” dari [LoD], dia terpapar “Kekuatan Koreksi Dunia” dan diarahkan menuju bad ending?

Timbul pertanyaan apakah dia jadi aneh karena “Kekuatan Koreksi Dunia”.

 

Lagipula, tidak mungkin dia tidak mendekati “Empat Gadis Tercantik” yang sangat ingin dia miliki, itu seperti meteor jatuh dari langit – hal yang mustahil.

 

Kalau memang begitu, mungkin aku bisa melupakan masa lalu.

 

Malah, jika menganggap kami sama-sama korban [LoD], meski dia orang yang sangat kubenci, anehnya muncul perasaan simpati dari lubuk hatiku.

 

“Luka parah, SMA yang sama…”

 

Aku kembali ke realita saat Sano bergumam sambil merenungkan sesuatu.

 

“Ada apa?”

 

“Nggak, hanya saja…”

 

Dia memandangiku dari atas ke bawah.

Rasanya tidak nyaman seperti sedang dinilai.

Lalu, entah apa yang dia pikirkan, dia menatapku dengan pandangan menyelidik.

 

“Jangan-jangan, orang yang tertabrak truk di depan sekolah saat upacara kelulusan itu… Iriya?”

 

Aku terkejut dia masih mengingatnya.

 

“Ya, benar. Memangnya kenapa?”

 

“–––”

 

Tiba-tiba, tatapan Sano menjadi dingin seperti angin musim dingin.

 

“Cih… jadi begitu. Akhirnya semua terhubung… Ternyata kau orangnya”

 

Nada bicara Sano jelas berubah.

Rasa dingin menjalar di punggungku, matanya yang menatapku dipenuhi penghinaan dan kebencian yang begitu dalam.

Permusuhan telanjang diarahkan padaku, dan setetes keringat mengalir dari dahiku.

 

Melihatku seperti itu, Sano memandangku dengan tatapan muak.

 

“Apa kau gak sadar kalau kau melakukan hal yang sangat rendah?”

 

“Aku gak ngerti maksudmu…”

 

Aku membalas pertanyaan yang tidak jelas itu dengan kebingungan.

 

“Haruskah kujelaskan dengan lebih sederhana? Bebaskan mereka, bebaskan ‘Empat Gadis Tercantik’, bajingan”

 

“Hah?”

 

Kata-kata yang mengejutkan.

Pasti ekspresiku terlihat sangat bodoh sekarang.

 

Dan aku tarik kembali kata-kataku sebelumnya.

Ini bukan masalah “Kekuatan Koreksi Dunia” atau apa, dia memang orang menyebalkan.

 

Tapi aku tidak mengerti kenapa dia begitu membenciku.

Padahal seharusnya dia berterima kasih…

 

“Aku selalu bertanya-tanya. Kenapa mereka semua nggak membalas kontakku. Kau tau hubunganku dengan mereka kan? Karena kita satu SMA”

 

“Yah…”

 

Rumor bahwa “Empat Gadis Tercantik” jatuh cinta pada protagonis biasa seperti [Sano Yuto] cukup terkenal di sekolah.

Malah aneh kalau ada yang tidak tau.

 

“Hah, kau benar-benar rendahan ya…”

 

Aku juga mulai kehilangan kesabaran.

Aku tidak suka dihina seenaknya.

 

“Apa maksudmu? Jangan bilang kau pikir aku sengaja mengalami kecelakaan supaya dirawat oleh ‘Empat Gadis Tercantik’?”

 

“Aku nggak menyalahkan kecelakaanmu. Aku turut berduka untuk itu. Tapi–––”

 

Dia membuat gerakan yang menyebalkan seperti berdoa, lalu menatapku tajam.

 

“Yang gak bisa kumaafkan adalah sikapmu yang menikmati situasi sekarang, bajingan”

 

Meski ucapannya penuh tekanan seperti protagonis, kemarahanku semakin memuncak.

 

“Tarik kembali kata-katamu… Mana mungkin aku senang dengan kondisi tubuh seperti ini. Sudah cukup”

 

“Entahlah. Dalam hati kau senang kan semua ‘Empat Gadis Tercantik’ mengkhawatirkanmu?”

 

“Sudah kubilang bukan begitu. Jangan bicara padaku lagi”

 

Merasa tidak ada gunanya bicara dengannya, aku mencoba menggerakkan kursi roda dengan tangan kiriku.

Tapi saat berikutnya, pegangan kursi roda dicengkeram kuat, jadi aku menoleh ke belakang dan memelototi Sano, tapi dia juga balas memelototiku.

 

“Satsuki dan yang lain itu baik hati, mereka gak bisa mengabaikan orang yang mengalami kecelakaan di depan mata mereka, makanya mereka jadi perhatian. Apa salahnya aku menyebutmu bajingan karena memanfaatkan kebaikan hati mereka?”

 

“–––Itu…”

 

“Aku menyelamatkan Satsuki dan yang lain sebagai penyelamat nyawa mereka!” “Kau dibenci oleh semua ‘Empat Gadis Tercantik’”

 

Harusnya mudah membantah Sano Yuto, dan harusnya ada banyak sekali alasan untuk menunjukkan betapa bajingannya dia.

 

Tapi tidak ada bantahan yang keluar dari mulutku.

 

Kata-kata Sano–––kata-kata tentang memanfaatkan kebaikan hati menusuk hatiku seperti pisau.

 

Memang aku membiarkan mereka berbuat sesuka hati sampai rasa bersalah mereka hilang, tapi apakah aku benar-benar bersikap semulia itu?

Kalau benar-benar ingin menolak, harusnya aku bisa menolak dengan berbagai cara.

 

“Karena mereka akan jatuh dalam kegelapan” – mungkin itu bukan tentang para heroine, tapi interpretasi yang menguntungkan bagiku agar bisa bersama mereka.

 

Mungkin sebenarnya aku hanya menikmati situasi di mana aku bisa berbuat sesuka hati pada para heroine–––

 

Perasaan gelap yang tidak ingin kulihat mulai meluap, dan rasa sesak seperti jantung diremas menyerangku.

 

Saat tersadar kembali ke realita, Sano menatapku dengan pandangan merendahkan.

 

“Ternyata kau sadar ya… Dasar pria menjijikkan”

 

“Bu-bukan. Aku gak bermaksud…!”

 

“Satsuki dan yang lain pasti ingin menikmati kehidupan kampus yang indah, tapi mereka direpotkan oleh parasit yang hanya bisa memanfaatkan kebaikan orang lain. Apa kau nggak berpikir untuk membebaskan mereka?”

 

“…!”

 

Kata-kata tajam itu menusuk dadaku satu per satu seperti pisau.

Aku ingin membantah.

Aku ingin menolak.

Namun suara yang membenarkan diriku tenggelam dalam perasaan gelap yang berputar dalam diriku.

 

“Aku juga gak ingin mengatakan hal seperti ini”

 

Sano berkata begitu, lalu menghela nafas pendek.

 

“Tapi… kalau memikirkan Satsuki dan yang lain, aku merasa ini adalah tugasku untuk mengambil peran antagonis”

 

“Sano…”

 

Menyadari dia tidak hanya menyalahkanku karena emosi, hatiku semakin tertekan.

 

“Cukup kalau Iriya bilang ‘sudah gak apa-apa’. Kau bisa melakukan itu kan?”

 

“Itu…”

 

Tidak seharusnya aku menggunakan status penyelamat nyawa sebagai rantai untuk mengikat mereka selamanya.

Mereka punya kehidupan mereka sendiri.

Kalau tidak begitu, tidak ada artinya aku melindungi masa depan mereka.

Kalau nyawa yang kuselamatkan menjadi penjara, aku sama saja dengan mereka yang menciptakan dunia ini.

 

Tapi sifat burukku yang menjijikkan menolak untuk membebaskan mereka.

 

Aku tidak mau sendirian lagi–––

 

Keinginan egois dan sepihak.

Saat pemikiran itu terbentuk di kepalaku, aku merasa menyedihkan.

 

Jika aku hanya bisa terhubung dengan orang lain dengan membuat mereka merasa bersalah, mungkin lebih baik aku mati saat itu–––

 

Kepalaku tertunduk dengan sendirinya, dan hatiku tenggelam dalam kegelapan.

Sekilas kulihat ekspresi Sano yang tersenyum mengejek dan sinis, tapi aku sudah tidak peduli lagi.

 

“Apa yang sedang kalian lakukan–––”

 

TL Note: Pengen bilang ke Sano, Fak men. Kalo iri bilang aja. Meski di chapter selanjutnya mungkin bakal di ulti sama heroin.

 

 

✽✽✽✽✽

 

 

Author Note:

    Terima kasih sudah membaca sejauh ini!

    Jangan lupa [Follow] ya!

    Jika memungkinkan, aku akan senang jika kamu kembali ke [Halaman Karya], dan menekan [⊕] di [Beri Penghargaan dengan ★] di [Ulasan] sebanyak tiga kali!



List Chapter
Komentar