Danshi Kinsei Game Sekai de Ore ga Yarubeki Yuiitsu no Koto – Vol.5 || Chapter 17 P1

Chapter 17 P1 – Duel Antara Putih dan Merah
Chuo City, Tokyo – Ginza.
Sebuah limusin berhenti di jalan yang dipenuhi restoran mewah.
Sopir tinggi itu membuka pintu dengan hormat, dan aku, yang sedang menikmati jus berkarbonasi di dalam limusin, turun dari mobil.
Limusin itu membawaku ke salah satu restoran fine dining milik grup Eisbert.
Aku melangkahkan kaki ke dalam restoran yang remang-remang, dan saat mataku mulai terbiasa dengan cahaya redup, aku dapat melihat banyak furnitur berkualitas tinggi yang menghiasi interior restoran itu.
Sebuah grand piano Steinway, tempat lilin antik, objek dengan pola geometris tertentu, serta meja-meja dari kayu kenari dengan taplak putih bersih…
Di tengah-tengahnya, berdiri sebuah cahaya.
Di salah satu meja, sebuah bayangan berdiam diri seperti hantu yang berkeliaran di malam kelam.
Memakai gaun merah darah, Chris Esse Eisbert, dengan pesonanya yang iblis, menatapku dari dalam kegelapan.
Diterangi cahaya redup, tatapan sinisnya tertuju padaku.
Dan saat aku tengah dipandangi olehnya, aku mengambil satu langkah maju.
Namun, tepat ketika aku melangkah––sebuah kawat melintang di bawah kakiku––lantai restoran pun bersinar dengan cahaya biru, dan ikan mas emas melintas di bawahku.
Itu, tanpa diragukan lagi, adalah ilusi yang diproyeksikan oleh perangkat sihir konstruksi, menampilkan permukaan air berpendar biru yang samar.
Setiap kali aku melangkah, riak air menyebar dan menghilang ketika bertemu gelombang yang datang entah dari mana.
Wakin, Ryukin, Pristle Supunkin, Ping-pong Pearls, Tetsuonaga, Kinranshi…
Berbagai jenis ikan mas berenang menuju sumber cahaya, seolah-olah mengajakku untuk mengikuti mereka.
Ikan-ikan itu membawaku ke meja tempat Chris duduk, dan tiba-tiba, seorang wanita bergaun hitam pekat muncul.
Dengan gerakan anggun, ia menarik kursi dan memberi isyarat agar aku duduk.
Aku pun segera duduk di kursi yang telah ditariknya––dan menyilangkan kaki.
Melihatku, Chris tersenyum saat seorang pelayan menuangkan cairan merah ke dalam gelas anggurnya.
“Dasar rakyat jelata”
“Ah, maaf. Betapa kurang ajarnya aku menyilangkan kaki di hadapan seorang wanita sepertimu”
Dia, yang wajahnya begitu indah tanpa cela, tersenyum sinis saat melihat hidangan pembuka yang dibawakan pelayan.
“Betapa buruknya kualitas ini. Bahkan seorang koki yang dulu pamer keahliannya di depan keluarga kerajaan dan bangsawan Inggris, di Ginza––distrik terbaik di Chuo––hanya bisa menyajikan makanan berkualitas rendahan seperti ini. Meski mereka membawa hidangan utama kelas satu setelah ini, hidangan pembuka ini sudah menghancurkan segalanya”
Setelah mengeluh, Chris membuka mata sihirnya dan menatapku tajam.
“Makanan yang disajikan dalam jamuan makan harus seragam dalam urutan, kualitas, dan cara penyajiannya. Jika ada satu saja hidangan yang sampah––”
Dengan kekuatan besar, Chris menghunjamkan garpunya ke hidangan pembuka––dan tersenyum saat piring itu retak tanpa suara.
“Maka lebih baik disingkirkan”
Chris lalu menundukkan pandangannya ke piring, seolah memberi perintah untuk segera menyingkirkannya.
Pelayan yang melihat itu segera berusaha memenuhi perintahnya.
Namun, aku menahan tangannya, mengambil hidangan pembuka dari piring, dan memasukkannya ke mulutku.
“Tapi, masih ada orang yang membutuhkannya. Lagi pula, aku sudah makan malam sebelumnya. Hidangan pembuka saja sudah cukup bagiku”
“… Kita memang benar-benar tidak cocok”
Sambil mengatakan itu, ujung bibirnya melengkung.
“Kau dan aku benar-benar tidak cocok”
“Kau memanggilku ke sini hanya untuk mengatakan itu?”
Aku tersenyum miring.
“Maaf sekali, tapi aku gak punya kemampuan untuk menikmati makan malam bersama wanita menyebalkan dan busuk sepertimu. Makanan yang dimasak oleh seorang pelayan bermulut pedas rasanya jauh lebih cocok untukku”
“Betapa beruntungnya dirimu”
Chris tersenyum sambil mengangkat gelas anggurnya.
“Berani sekali kau berbicara seperti itu padaku, dan masih hidup”
“Kau harus bersyukur gak bisa membaca pikiran lawanmu. Kalau bisa, aku yakin kau sudah jadi pembunuh massal sekarang. Aku ini sedang menegurmu atas nama seluruh umat manusia, lho?”
Dalam sekejap, hawa pembunuhan meledak dari tubuhnya.
Namun, pada saat yang sama, aku mengaktifkan Nil Arrow.
Aku menempelkan telunjuk dan jari tengahku di dahinya yang baru saja bangkit berdiri––dan menancapkan panah tak kasatmata di sana.
“Oi, oi. Kau yang memanggilku, tapi malah kau yang marah duluan? Betapa menyedihkannya. Kalau kau butuh segelas air lagi, panggil saja pelayan, lho?”
“…”
Sambil tersenyum, Chris lalu merapikan posisi garpu yang berjajar di hadapanku.
Setelah selesai, ia duduk kembali dengan ekspresi tetap sama.
“Mari langsung ke inti pembicaraan. Kau dan aku sama-sama tau kalau pemandangan kita menikmati hidangan lengkap sambil bercakap-cakap layaknya sahabat itu terlalu absurd”
Kemudian, sebuah sarung tangan putih jatuh ringan di atas piring di hadapanku.
Dengan gerakan anggun bak seorang aktor teater, Chris melemparkan sarung tangannya dan tersenyum.
“Aku menantangmu duel”
“Oi, aku gak bawa deck-ku ke sini”
“Aku tidak menyukaimu, dan kau juga tidak menyukaiku. Bukankah syarat untuk saling membunuh sudah terpenuhi?”
Sambil menyilangkan kaki, aku membuka tangan.
“Kau tahu apa itu duel? Kalau ingin membunuh orang, lebih baik kau melakukan perjalanan waktu ke masa di mana orang-orang membawa pedang di pinggang dan bertarung melawan kapal-kapal hitam”
“Kau pria, dan aku wanita. Apa kau pikir pemerintah Jepang akan ikut campur dalam hubungan pribadi antara seorang pria dan wanita?”
Sementara kami membicarakan duel, pelayan datang membawa sup di hadapanku.
Aku pun melihat banyak sendok yang berjajar di sana.
“Hei, yang mana yang harus kupakai?”
“Aku akan memberitahumu kalau kau menerima tantanganku”
Aku langsung membuka layar jendela dan menelepon seseorang.
“Halo, Snow? Un, ini tentang peralatan makan untuk hidangan lengkap, sendok mana yang harus kupakai untuk sup? Un, un, un, eh, aku gak paham hal seperti itu, cepat kasih tau saja. Nanti aku belikan es krim dalam perjalanan pulang… Bukan, Häagen-Dazs gak mungkin, kita gak punya uang sebanyak itu… Ya, ya, baiklah, aku mengerti. Ya~”
Sambil menyeringai, aku mengambil sendok terkecil.
“Itu sendok untuk hidangan penutup”
“Dasar pelayan sialan! (Melempar sendok)”