Shibou Endo o Kaihi Shita – Chapter 22
Chapter 22 – “Apa yang kau cari?”
Terkunci 🔒
Menghitung mundur...
Chapter ini akan terbuka otomatis pada .
Atau kamu bisa membaca chapter ini di sini.
Trakteer
Chapter 22 – “Apa yang kau cari?”
“Aku terus memikirkan mengapa Sang Pencipta dunia ini menciptakan [LoD]. ‘Heroine yang gak bisa bersatu dengan protagonis ditakdirkan untuk mati’. Aku penasaran di mana konsep ini berasal?”
Angin musim semi dengan lembut membelai kulit.
Gerbang kokoh berdiri di sekolah yang kukunjungi setelah setahun berlalu, bekas karat yang sepertinya tidak ada tahun lalu terlihat di bawah cahaya bulan.
Tulisan usang nama sekolah yang terukir di tiang gerbang membangkitkan rasa nostalgia.
Jarum jam hampir menunjukkan pergantian hari.
Satsuki memandangi sekolah membelakangiku.
“Menurutku ini tentang cinta dan kebencian terhadap gadis yang gak bisa dimiliki. ‘Perempuan yang gak mau jadi milikku lebih baik mati semua. Kalau mau jadi milikku, akan kumaafkan’––– Lalu, menurutmu siapa [Iriya Satoshi]?”
–––Mana kutahu.
Hanya itu tanggapanku.
“Dia juga mengalami takdir yang sama seperti kita. Tapi bukankah itu aneh? [LoD] itu game kencan kan? Kenapa karakter mob yang biasa-biasa saja harus mati? Kenapa dia gak mati jika berakhir dengan harem?
–––Nee, kenapa?”
Satsuki berbalik menghadapku.
Di matanya terpancar rasa ingin tau yang murni, tapi di baliknya seperti ada bayangan gelap yang bergoyang.
Aku tidak mengerti apa yang dia bicarakan, tapi punggungku merinding saat angin berhembus melewati kami.
Melihatku seperti itu, Satsuki menghela nafas.
“Haah. Kau benar-benar gak tau apa-apa ya. Yah sudahlah––– Sudah setahun ya. Bagaimana kabarmu?”
Dia yang tahun lalu masih siswi SMA, setelah setahun berlalu tampak jauh lebih dewasa.
“… ‘Bagaimana kabarmu’ katamu…? Kau pikir bagaimana perasaanku datang kemari?”
Nada marah secara alami keluar dalam suaraku menanggapi pertanyaannya yang menyinggung syarafku.
Satsuki kembali menghela nafas dan menatapku dengan pandangan mencemooh dan tidak percaya.
“Mana kutau. Perasaan penguntit sepertimu. Tas apa itu? Itu milikku”
“Penguntit katamu? Jangan bicara seolah aku orang jahat. Kau yang memanggilku dengan cara berbelit-belit seperti ini kan?”
Aku melempar tas itu dengan kasar.
Siang tadi aku melihatnya bersama si brengsek itu dan sengaja mengambil tas yang dia jatuhkan.
Lalu saat mengintip smartphone di dalamnya, ada tulisan di layar utama “Tunggu di tempat itu jam 24:00”.
Dengan kata lain, dia melakukan hal berbelit-belit ini untuk memanggilku.
Aku langsung tau tempat yang dimaksud secara intuitif.
Dan karena firasatku benar–––
“Naa Satsuki. Kalau kau ingin memulai lagi denganku, bukankah seharusnya kau menunjukkan ketulusan yang sepadan?”
Artinya, dia memilihku bukan Iriya.
Usahaku mengumpulkan dan mengembalikan barang-barang yang dia jatuhkan tidak sia-sia.
Mungkin dia sudah menyadari ketulusanku.
Tapi untuk pacaran, minimal dia harus bersujud meminta maaf.
Ini ritual penyucian untuk menjadi kekasih.
“Haah… Cara berpikirmu yang selalu positif itu gak berubah ya…”
Lalu dia menatapku dengan tajam.
“Setelah tau kebenaran, aku, kami…! Mana mungkin suka pada orang sepertimu. Ngigau saja saat sudah mati. Sampah”
“Apa!?”
Meski dilempar kata-kata kejam, aku tidak bisa membalas karena terpaku oleh aura Satsuki yang penuh amarah.
Dan begitu intensitas itu mereda, emosi di wajah Satsuki langsung menghilang.
“Aku datang ke sini untuk konfirmasi terakhir
–––Bagaimana setahun ini?”
Bagaimana setahun ini katanya?
“Ah, jangan pura-pura gak tau ya? Karena kami tau apa yang kami tau”
Suara langkah kaki memecah keheningan dari jalan di sebelah kiri.
Lalu rambut perak yang memancarkan kehadiran luar biasa bergoyang tanpa tenggelam dalam kegelapan pekat.
Aku tidak yakin apakah sosok yang muncul itu gadis atau wanita.
“Reine…?”
“Bisakah kau nggak memanggil namaku? Menjijikkan”
Reine menumpahkan isi tas yang dipegangnya ke tanah dengan suara keras.
Itu adalah alat penyadap dan kamera pengintai yang seharusnya kupasang.
Lalu terdengar suara dia menghancurkannya tanpa berkata apa-apa.
“Ka-kalian tau…?”
“Tentu saja, kami sengaja membiarkannya untuk ini”
Melihat Satsuki yang tersenyum dan Reine yang terus menghancurkan dengan wajah datar, hatiku mendadak membeku.
Lalu–––
“Kalian menyukaiku kan!? Tubuh, hati, dan takdir kalian seharusnya milikku! Kalian lahir untuk mencintaiku kan! Kenapa kalian membuangku dan memilih bahagia dengannya! Santa Claus gak berguna!”
Teriakanku yang dipenuhi emosi bergema, dadaku naik turun dengan keras.
“Kalau gak mau jadi milikku lebih baik mati saja–––”
Satsuki terus memandangiku dalam diam.
Lalu perlahan membuka mulutnya.
“Balas dendam kami adalah membuatmu merasakan penderitaan ‘Iriya Satoshi’, pahlawan tanpa nama”
“Hah?”
“Sepertinya kau sudah mengerti tentang kebencian. Jadi…
Bagaimana rasanya––– kepedihan melihat wanita yang kau cintai dipeluk pria lain?
Bagaimana rasanya––– ketidakberdayaan saat tau tapi gak bisa berbuat apa-apa?
Bagaimana rasanya––– keputusasaan saat kehilangan segalanya?
–––Hei bagaimana? Jawab dong?”
Pertanyaan-pertanyaan yang dilemparkan berturut-turut menghantam dadaku dengan ritme konstan.
Pikiranku hampir tenggelam dalam gelombang kata-kata yang tak henti.
Yang ada dalam diriku hanya kehampaan.
Semacam kepasrahan.
“… Sudahlah”
Kalau tidak mau jadi milikku, aku sudah tidak peduli.
Obsesiku terhadap “Empat Gadis Tercantik” runtuh dengan suara keras.
Lebih baik aku pulang saja.
Aku punya hal baru yang harus kulakukan–––
“Pembicaraan kita belum selesai kan~?”
Tepat saat terdengar suara yang terdengar malas itu, aku merasakan daging tersayat disertai suara tumpul.
“–––Eh?”
Shuna muncul dari jalan di sebelah kanan dengan tersenyum.
Aku terlalu fokus pada Reine dan Satsuki sampai sama sekali tidak menyadarinya.
Sebelum sempat merasa curiga, rasa sakit seperti terbakar dari lengan kananku yang tersayat menyerangku.
“… Ugh, apa ini?”
Sambil menahan rasa sakit, aku mendongak menatap Shuna, yang tersenyum di wajahnya tapi tidak di matanya.
“Bukankah Satsuki sudah bilang? Kalau kau akan merasakan apa yang dialami Satoshi
–––Bagaimana rasanya gak bisa menggunakan tangan kanan?”
“Ugh!?”
Tanpa pikir panjang aku memutuskan untuk kembali ke jalan tengah.
Darah membasahi beton tapi itu tidak penting.
Yang memenuhi hatiku adalah rasa takut dan tanggung jawab.
“Akhirnya aku bisa melakukan apa yang harus kulakukan…!”
Ketika aku menoleh sekilas, kulihat tiga orang berjalan ke arahku.
Satsuki memungut tasnya, mengeluarkan ponselnya, dan terus menatapku tanpa ekspresi.
“5”
Sepertinya bibirnya bergumam begitu.
Aku segera menghadap ke depan dan mulai berlari.
Keyakinan bahwa ada sesuatu yang mendekat dari belakang mencengkeram dadaku.
“4”
Terdengar langkah kaki tiga orang dari belakang.
Dan suara Satsuki yang seharusnya tidak terdengar bergema langsung di otakku, membentuk ketakutan.
“3”
Mereka bertiga berjalan, sementara aku berlari.
Namun entah kenapa terasa jarak di antara kami semakin dekat.
Aku bahkan tidak bisa menoleh ke belakang.
Rasanya jika aku melihat ke belakang, semuanya akan berakhir.
Keringat mengalir di punggungku dan pandanganku kabur.
“2”
“Hei, tolong aku! Santa Claus! Sekarang saatnya kan!”
Napasku terengah-engah dan teriakanku bergetar.
Di tengah makianku yang bergema sia-sia, kakiku tersandung saat menendang tanah.
Tapi rasa sakit di tangan kanan menyebar ke seluruh tubuh, menguras tenagaku.
Tiba-tiba kakiku tersangkut sesuatu dan aku terjatuh dengan keras ke tanah.
“1”
Beton mengikis kulitku, darah segar menetes.
Kepalaku kosong, tapi aku tidak bisa berhenti.
Sambil merangkak, aku mencoba berdiri dengan paksa.
Di tengah pandanganku yang gelap, aku melihat lampu hijau.
Jika aku bisa melewati ini…!
“0
–––Lakukan, Shino”
“Eh?”
Aku mendengar suara truk dari kejauhan.
Suara mesin rendah membuat tanah bergetar semakin dekat.
Saat tubuhku membeku dalam cahaya lampu, sedetik kemudian aku merasa melayang seperti terbang di udara, dan merasa jarak dengan langit malam semakin dekat.
Tapi segera menjauh, dan bagian belakang kepalaku membentur tanah dengan keras.
Tubuhku tidak bisa bergerak.
Saat sensasi di tangan dan kakiku perlahan menghilang, terdengar suara pintu dibuka dengan kasar.
Langkah kaki perlahan mendekat, dan dalam pandanganku–––
“Shi… no?”
Aku bergumam menyebut namanya, tapi tidak ada jawaban.
Lalu dia perlahan membuka mulutnya.
“[Sebuah mobil menerobos lampu merah dan menabrak seorang siswa SMA. BAD END]
begitu ya?
Sayang sekali kami gak bisa mereproduksi ini dengan sempurna. Karena kami sekarang ‘mahasiswa’.
–––Bagaimana rasanya? Keputusasaan harus menerima takdir kematian?”
Tidak, tidak, tidak! Tolong!
Suaraku tidak keluar.
Aku berpikir untuk memberi isyarat, tapi seluruh tubuhku tidak bisa bergerak.
Yang bisa kulakukan hanya memohon bantuan dengan tatapanku, tapi yang terpantul di sana hanyalah empat pasang mata sedingin nol absolut.
Tidak terlihat sedikitpun niat untuk menolongku.
Saat melihat itu, hatiku dengan cepat membeku.
Aku menjadi tenang dan memutuskan untuk menerima takdirku.
Kalau begitu, yang harus kulakukan di saat terakhir adalah–––
✽✽✽✽✽
“–––Apa yang kau cari dengan tangan kanan yang gak bisa bergerak?”
Bertanya pada mayat yang tidak bergerak tidak akan mendapat jawaban.
Aku ingin dia mati dengan membawa rasa putus asa sampai akhir, hanya itu yang disayangkan.
Yah sudahlah–––
“Ayo, cepat kita bereskan ini dan kembali ke Satoshi-kun”
–––Akhirnya kami bisa bahagia kan?
✽✽✽✽✽
Author Note:
Terima kasih sudah membaca sampai di sini!
Tinggal satu chapter lagi. Akhirnya semua bisa terselesaikan…
Jika memungkinkan, aku akan senang jika kamu kembali ke [halaman karya] dan menekan [⊕] di [★ Apresiasi] di [Review] sebanyak tiga kali!
Juga, aku baru mulai X, jadi tolong follow jika berkenan.