Chapter 138 – Mimpi itu Mirip Seperti Diorama Kehidupan


Chapter 138 – Mimpi Itu Mirip Seperti Diorama Kehidupan

 

 

Itu adalah mimpi di mana aku menyadari bahwa aku sedang bermimpi – apa yang disebut sebagai mimpi lucid.

 

“Tunggu… apa?”

 

Aku tanpa sadar mengerang melihat pemandangan mimpi yang sangat aneh ini.

 

Pertama-tama, di sini sangat gelap.

Seolah-olah berada di dalam terowongan, hanya ada kegelapan pekat di sekitar.

 

Selain itu, rasanya seperti mengambang di dalam air, bahkan keberadaanku sendiri terasa tidak stabil.

 

(Apa ini, aku gak bisa lihat apa-apa––– hm?)

 

Di tengah kegelapan itu, tiba-tiba sesuatu seperti pita cahaya tipis melintas di depan mataku.

 

Itu adalah satu-satunya cahaya yang muncul dalam ruang gelap gulita ini.

 

“Ha, eh…? Miniatur… Bima Sakti?”

 

Kupikir itu adalah ungkapan yang paling tepat untuk menggambarkannya.

 

Kukira itu adalah pita cahaya, tapi setelah diperhatikan baik-baik, itu adalah kumpulan cahaya-cahaya kecil seperti debu bintang, yang mengalir perlahan dari kiri ke kanan.

 

Lebarnya hanya sekitar pita yang tertiup angin, tapi panjangnya tak terhingga sampai-sampai kedua ujungnya tak terlihat.

 

“Apa benda romantis ini…”

 

Meskipun ini mimpiku sendiri, aku terkejut dengan lokasi yang sangat asing ini, namun aku dengan ragu-ragu mencoba menyentuh pita debu bintang yang bersinar putih itu dengan jariku.

 

Kemudian––

 

“!?”

 

Dalam sekejap, ruang gelap itu berubah menjadi lapangan rumput yang diterangi sinar matahari.

 

Pepohonan yang rimbun, bunga-bunga, kupu-kupu yang beterbangan, keluarga yang berpiknik dengan tikar piknik, orang tua yang berlari-lari kecil, ibu rumah tangga yang mengajak anjing jalan-jalan.

 

Aku membeku melihat pemandangan yang sangat tak terduga itu.

 

Aku sangat terkejut dengan situasi seolah-olah aku telah berteleportasi dalam sekejap… tapi segera menyadari ada yang aneh.

 

(Apakah ini taman…? Tapi aku nggak mencium bau tanah atau dedaunan, dan meskipun rumput bergoyang tertiup angin, aku nggak merasakan apa-apa…)

 

Rasanya seperti dilemparkan ke dalam film – tepat saat aku berpikir begitu, aku terbelalak melihat sesuatu yang tidak bisa kupercaya.

 

Beberapa meter dariku, seorang anak laki-laki sekitar enam tahun sedang berlarian dengan sangat aktif di lapangan taman.

 

Wajah polosnya terlihat familiar dari album yang dijaga dengan baik oleh ibuku.

 

(Gak mungkin… mungkinkah itu… aku waktu kecil!?)

 

Kalau diperhatikan baik-baik, agak jauh dari sana ada ibu yang masih muda dan ayah yang sudah meninggal, mengawasi anak mereka sambil tersenyum melihat betapa energiknya dia.

 

Di samping diriku yang masih kecil, ada Kanako kecil yang juga penuh senyum, kakak beradik itu bermain dengan sangat akrab tanpa ada perselisihan apapun.

 

Saat itu terbentang waktu di mana mereka hanya menikmati kebahagiaan dengan polos – tanpa mengetahui penderitaan dunia ini.

 

“Eh, hilang…!? Tapi, mungkinkah ini…”

 

Seolah-olah video telah berakhir, tiba-tiba sekelilingku kembali ke ruang gelap semula.

 

Lalu aku kembali memandang Bima Sakti yang seperti proyeksi 3D yang mengalir di depanku.

 

Sepertinya pemandangan yang seperti mengintip masa lalu itu muncul karena aku menyentuhnya.

 

(… Mungkin aku harus mencoba lagi)

 

Aku kembali mengulurkan tanganku untuk menyentuh Bima Sakti itu.

 

Kemudian, seperti yang kuduga, ruang di sekitarku memutarkan masa laluku.

 

Pemandangan saat aku terjatuh dan menjadi yang terakhir di perlombaan hari olahraga sekolah dasar, dan teman-teman sekelasku memalingkan wajah dengan canggung.

 

Pemandangan saat aku berusaha untuk memulai debut sebagai anak SMP tapi gagal total, dan menghabiskan waktu istirahat dengan berpura-pura tidur karena tidak punya teman.

 

Pemandangan saat aku dan Kanako yang baru memasuki masa puber duduk berdua di meja makan, merasa sedih karena tidak bisa mengobrol seperti dulu di tengah keheningan yang menyelimuti––

 

“G-gak ada kenangan yang bagus…! Kalau dilihat seperti ini, masa sekolahku benar-benar terlalu suram!”

 

Meskipun aku merasa tertekan karena dipaksa mengalami kembali masa lalu yang tidak ingin kuingat, berkat itu aku mulai sedikit memahami arti dari Bima Sakti yang aneh ini.

 

Ada urutan waktu yang jelas dalam “pemandangan” masa lalu, dan semakin ke arah hilir Bima Sakti yang bersinar putih itu, adegan semakin maju ke masa depan.

 

“Mungkinkah Bima Sakti ini… adalah aliran waktu itu sendiri?”

 

Akhirnya aku mulai menyadari bahwa ini bukan sekedar mimpi biasa.

 

Meskipun pemandangannya seperti didesain layaknya adegan dalam game, mungkin karena saat ini aku terbebas dari realitas, aku bisa menerimanya dengan sangat alami.

 

“… Eh? Apa ini bercabang besar?”

 

Saat itulah aku menyadari fakta itu.

 

Bima Sakti yang melintasi di depan mataku tak terlihat ujungnya… tapi di suatu titik ia bercabang menjadi dua.

 

“Aliran utama” cahaya putih, dan “anak Sungai” cahaya biru yang bercabang.

 

Ingin tahu perbedaannya, aku mencoba menyentuh cahaya biru yang merupakan “anak sungai”.

 

Kemudian –– yang terpampang di sana adalah hari-hari yang bersinar, berbeda jauh dengan masa lalu yang menyedihkan tadi.

 

Pemandangan di mana aku dan Haruka berkeliling festival budaya bersama, tersenyum satu sama lain di tengah keramaian.

 

Pemandangan di mana aku pergi berbelanja dengan Kanako, dan kami berdua terengah-engah setelah mencoba parfait jumbo.

 

Pemandangan di mana aku diundang ke kediaman keluarga Shijoin dan berkeringat dingin saat wawancara yang menekan dari Tokimune-san, adegan di mana aku minum teh di kamar Haruka dan suasananya menjadi sedikit romantis––

 

(Mungkinkah… “anak sungai” ini adalah aliran baru yang tercipta karena time leap-ku?)

 

Jika Bima Sakti ini benar-benar merepresentasikan aliran waktu, maka dunia putaran pertama adalah aliran yang seharusnya – bisa disebut sebagai sejarah resmi, sedangkan dunia putaran kedua adalah dunia paralel yang bercabang dari sana.

 

“Tapi, akhirnya apa yang ingin disampaikan mimpi ini… Whoa!?”

 

Meskipun aku tidak menyentuhnya, kali ini “pemandangan” mulai diputar dengan sendirinya.

Menampilkan masa depan yang lebih jauh dari era yang telah kulihat sebelumnya.

 

“Oi oi… dari semua waktu, kenapa harus pemandangan dari masa itu…”

 

Aku bergumam dengan suara yang benar-benar lesu melihat pemandangan yang terpampang di ruang itu.

 

Singkatnya, ini adalah neraka kerja.

Pemandangan di mana aku sebagai pekerja kantoran berjas menjadi budak perusahaan yang buruk, berlarian dengan perasaan seolah memuntahkan darah, terus bertambah.

 

Lembur di malam hari sambil meneguk minuman berenergi, cacian dari atasan yang mencampurkan penolakan kepribadian yang terjadi sehari-hari, kehidupan yang berantakan dan lingkaran hitam di mata yang semakin tebal.

 

Dan kemudian – kematian karena kelelahan yang memalukan, tenggelam dan dikejar oleh pekerjaan.

Melihat akhir yang terlalu mengerikan itu, tawa mengejek bahkan tanpa sadar muncul.

 

“Benar-benar gak ada gunanya… Jika masa sekolah adalah abu-abu, maka ini bisa dibilang berwarna comberan––”

 

Tiba-tiba “pemandangan” itu beralih ke tempat yang tidak kukenal, dan aku kehilangan kata-kata.

Karena di sana ada pemandangan yang jauh lebih kejam dan menyedihkan dibandingkan kematianku sendiri, membuatku ingin menutup mata.

 

“Haruka…”

 

Entah bagaimana aku yakin bahwa orang yang membelakangiku di tempat yang tampak seperti kantor perusahaan itu adalah Haruka dewasa yang memakai jas.

 

Mungkin karena ini bukan ingatanku, gambar itu memiliki resolusi yang cukup rendah, sehingga sosok Haruka di usia dua puluhan tidak terlalu jelas terlihat.

 

Meski begitu – pemandangan yang terpampang di sana dengan tepat menusuk hatiku.

 

Karyawati-karyawati yang tersenyum licik menumpuk dokumen demi dokumen ke Haruka saat hari mulai gelap.

Wajah para wanita yang mengatakan untuk menyelesaikannya bahkan jika harus begadang terlihat sangat menikmatinya.

 

Smartphone dengan layar yang retak, sandal yang dikotori, buku catatan yang disobek, dan barang-barang pribadi lainnya dibuang ke tempat sampah, dan Haruka mengambilnya kembali sambil menangis.

Dari belakangnya terdengar suara orang-orang yang tidak jauh berbeda dari sampah sendiri, mengatakan “Aku salah mengira itu sampah karena terjatuh di lantai♪”.

 

Setelah beberapa pemandangan buruk seperti itu muncul – yang terakhir kulihat adalah kesedihan keluarga Shijoin.

 

Tidak ada yang terdengar, tidak ada yang terasa.

Di hadapan Haruka yang mentalnya telah rusak seiring waktu, baik Akiko-san maupun Tokimune-san menangis dengan suara pilu, menyalahkan diri mereka sendiri dengan keras karena tidak bisa menyadari penderitaan putri mereka.

 

Namun bahkan di hadapan kedua orang tuanya, Haruka tidak menunjukkan reaksi apa pun, seolah-olah dia tidak lagi bisa mempersepsi dunia.

 

Keberadaan Shijoin Haruka yang lembut dan polos itu – telah benar-benar dibunuh.

 

(Kenapa… ini bisa…)

 

Setelah diperlihatkan pemandangan itu lagi, aku sadar bahwa air mataku telah mengalir deras dan aku terisak.

Perasaan yang terlalu menyakitkan dan tak terarah berputar di dalam dadaku.

 

Kenapa hal seperti ini bisa terjadi?

Kenapa orang-orang bisa melakukan hal seperti ini?

 

Bagaimana bisa mereka tertawa setelah menyakiti orang lain?

Apa yang begitu menyenangkan?

 

Aku juga sering memikirkan hal ini tentang orang-orang brengsek di perusahaan tempatku bekerja…

Kenapa orang-orang dengan kepribadian yang rusak seperti itu bisa hidup dan bernafas dengan santai?

 

(Aku selalu berada di sisi Haruka dan melakukan berbagai hal untuk mencegah masa depan ini… tapi sepertinya gak ada pilihan lain selain mengubah masa depan secara langsung, bukan hanya mencegahnya)

 

Meskipun itu adalah hal yang sangat sulit, tidak ada pilihan lain selain melakukannya.

Dan mungkin hanya akulah satu-satunya di dunia ini yang bisa melakukannya.

 

(… Ah… apakah mimpi ini akan berakhir…)

 

Tiba-tiba, aku merasakan kesadaranku berkedip.

Sepertinya waktu mimpi telah berakhir, dan sudah waktunya bagiku untuk kembali ke realitas.

 

(… Aku harus pergi. Ke dunia itu yang gak ingin kudatangi lagi. Aku harus bertarung sekali lagi sebagai orang dewasa)

 

Tiket untuk itu adalah satu-satunya hal yang tidak bisa kuraih bagaimanapun caranya.

Karena itulah aku hanya bisa berdoa.

 

Ketika aku membuka mata berikutnya – semoga aku berada di neraka yang familiar itu.



List Chapter
Komentar