Inkya datta Ore no Seishun Revenge: Tenshi Sugiru Ano Musume to Ayumu Re:Life (WN) – Chapter 99


Chapter 99 – Bisikan Manis di Akhir Musim Panas

 

“Hahahaha! Berlari di pantai berpasir saat matahari terbenam itu menyenangkan ya!”

“T-tunggu, Shijoin-san! Berlari dalam kondisi seperti itu berbahaya!”

Di tengah pemandangan yang seluruhnya diterangi matahari terbenam, aku mengejar Shijoin-san yang berlari kencang di pantai dalam keadaan mabuk.

Kecepatan lari gadis itu tidak terlalu cepat, tapi entah karena mabuk atau rasa lelahnya mati rasa, kecepatannya tidak berkurang sejak tadi…

Hasilnya, kami sudah cukup jauh dari tempat kami barbekyu tadi.

(Energi untuk bisa bergerak sebanyak itu meski sedang mabuk benar-benar khas anak SMA…! Tapi justru itu yang membuatnya sangat berbahaya!)

Sambil merasakan kecemasan seperti orang tua yang mengejar anak kecil yang tingkahnya tak terduga, aku mempercepat langkahku untuk mengejar gadis yang terlalu bebas karena pengaruh alkohol itu.

“Eh…? Entah kenapa kakiku semakin berat…”

Akhirnya tenaganya habis, langkah Shijoin-san melambat dan berhenti.

Aku berhasil mengejar gadis berblus putih yang berdiri diam di pantai berpasir itu, dan mengulurkan tangan untuk menangkapnya – agar dia tidak pergi ke mana-mana seenaknya, aku menggenggam erat bahunya yang kecil.

“Haah… haah… Akhirnya tertangkap juga…”

“Fufuu… Aku tertangkap deh…”

Saat aku mengumumkan berakhirnya permainan kejar-kejaran dengan nafas terengah-engah, Shijoin-san entah kenapa tersenyum lebar dengan wajah yang sangat puas.

Kupikir pikirannya yang sedang mabuk akan menunjukkan ketidakpuasan karena tertangkap, tapi anehnya dia malah terlihat sedikit senang.

“Fuh, kamu baik-baik saja Shijoin-san? Apa kamu merasa mual atau kakimu sakit?”

Karena dia berlari cukup jauh dalam keadaan mabuk, tidak aneh kalau tiba-tiba kondisinya memburuk.

Aku yang sudah sering melihat anak baru yang tidak terbiasa minum menjadi pucat pasi di acara minum-minum, langsung mengkhawatirkan hal itu.

“Hmm… Niihama-kun selalu begitu…”

“Hah…?”

Shijoin-san yang berbalik menghadapku, entah kenapa menggembungkan pipinya dan menatapku dengan mata menyipit.

A-ada apa?

Apa aku baru saja mengatakan sesuatu yang aneh?

“Dalam situasi seperti ini… kalau lawan bicaramu Mizuki-san atau *Mai-san, Niihama-kun pasti akan berkata ‘Jangan lari-lari seenaknya!’ atau ‘Kenapa aku harus berlari di pantai sih!?’. Tapi! Kenapa kamu begitu sopan padaku? Rasanya sangat formal!”

 

TL Note: *Disini Haruka manggilnya pake nama keluarganya “Fudehashi”, tapi karena sebelumnya udah pake nama depan jadi mimin ganti ke Mai.

 

“Eh, eeh!? E-enggak, itu karena…”

Sambil menerima kemarahan imutnya, aku tergagap.

Memang benar kalau lawan bicaraku Kazemihara atau Fudehashi, aku mungkin akan bereaksi seperti itu, tapi…

“Padahal kita sudah cukup lama berteman, tapi hanya aku yang masih ada jaraknya! Curang! Bukannya tembok, kamu malah membangun kastil!”

Shijoin-san yang kondisi mentalnya seperti anak SD, berteriak menyuarakan ketidakpuasannya sambil mengayunkan kedua tangannya dengan penuh semangat.

Dan aku hanya bisa tergagap kebingungan menghadapi tuduhan yang tak kuduga ini.

(M-memang benar saat berinteraksi dengan Shijoin-san, karena gak ingin dibenci, sikapku jadi seperti menghadapi seorang putri! Tapi malah dianggap terlalu kaku padahal sudah berteman!)

Aku tak tau harus berkata apa mendengar perasaan sebenarnya yang selama ini dipendam Shijoin-san.

Meski hubungan kami sudah cukup dekat untuk disebut teman, tapi aku terus menjaga jarak dan bersikap kaku.

Jujur saja, aku tak punya kata-kata untuk membalas jika dibilang begitu.

“… Tapi, aku juga salah…”

“Eh…”

Melihatku yang seperti itu, Shijoin-san yang masih dalam kondisi seperti bermimpi itu tiba-tiba menurunkan nada suaranya dan mengucapkan kata-kata penyesalan dengan lembut.

“Aku memang protes pada Niihama-kun… tapi kalau dipikir-pikir, aku juga belum melakukan hal penting untuk menjadi teman dekat… Padahal aku sudah diajari saat berteman dengan Mizuki-san dan Mai-san, aku payah sekali…”

“T-tunggu, Shijoin-san!? Kenapa tiba-tiba mendekatkan wajahmu!?”

Dengan ekspresi seperti masih bermimpi, Shijoin-san tiba-tiba mendekatkan wajahnya ke wajahku.

Di tengah kebingunganku yang tidak kumengerti maksudnya, gadis berpakaian one piece itu mendekatkan bibirnya yang merah muda dan indah ke telinga kiriku, seperti hendak membisikkan sesuatu.

(A-apa yang mau dia lakukan!? Karena mabuk, gerak hatinya jadi gak terkendali dan semakin sulit ditebak…!)

Aroma sampo yang sepertinya dia pakai saat mandi sebelum barbeque menggelitik hidungku, membuat dadaku terasa panas.

Dan seolah tidak menyadari kebingungan dan wajahku yang memerah, Shijoin-san semakin mendekatkan mulutnya ke telingaku dan––

“Shinichiro-kun…”

“!?”

Bisikan lembut itu meresap ke dalam daun telingaku.

Hanya dengan satu kata itu, telingaku terasa manis dan mati rasa, seperti ada kilat yang menyambar seluruh tubuhku.

“… Shinichiro-kun… Shinichiro-kun…”

“Hyuu… fuaa…!”

Namaku dibisikkan dengan lembut, disertai hembusan nafas di telinga.

Meskipun hanya itu informasi yang sampai ke gendang telingaku, setiap kali Shijoin-san membuka mulutnya, jantungku berdebar kencang berkali-kali, dan rasa mabuk yang manis meresap hingga ke dalam otakku.

Selama ini, aku sering terpesona oleh kecantikannya, dan terpukau oleh senyumnya yang polos dan ceria.

Namun, sensasi ini memberikan pengalaman baru yang berbeda dari semua itu.

Seperti tenggelam dalam minuman keras yang manis dan kuat, bisikan itu berubah menjadi madu yang melelehkan seluruh batinku.

“Fufuu… bagaimana Shinichiro-kun… memang memanggil nama adalah langkah pertama untuk menjadi teman yang lebih dekat lho! Di semua novel ringan juga ditulis begitu!”

Shijoin-san yang menjauhkan wajahnya dari telingaku berkata dengan ekspresi linglung.

Sepertinya dia tidak merasa malu dengan tindakannya barusan, dan menunjukkan senyum polos dengan ekspresi bahagia yang mengambang.

Sementara aku, rasanya seperti ada uap yang keluar dari kepalaku, wajahku merah padam dan tidak bisa bersuara.

Aku lemas karena minuman baru yang belum pernah kucoba berupa hembusan nafas dan panggilan nama dari Shijoin-san, dan rasa mabuk yang manis masih kuat terasa di seluruh tubuhku.

(B-bahaya sekali bro… rasanya seperti ada madu yang dituangkan langsung ke otak, pikiranku jadi meleleh…!)

Memang, saat Shijoin-san menginap di rumahku tempo hari, dia memanggilku “Shinichiro-kun” saat berbicara dengan ibuku.

Tapi itu hanya untuk membedakan panggilan di keluarga Niihama, dan sangat berbeda baik dari segi dampak maupun makna dengan situasi ini di mana dia berbisik untuk melangkah menjadi lebih dekat.

“Nah, sekarang giliran Niihama-kun!”

“Eh!?”

Shijoin-san menatapku dengan senyum lebar dan mata yang berbinar-binar.

Tentu saja aku bisa menebak apa yang diinginkan tatapan polosnya itu, dan aku juga paham bahwa situasi ini tidak akan berakhir kecuali aku memenuhi harapan gadis yang terlihat sangat bersemangat ini.

Tapi––

(B-bagaimanapun juga aku belum siap mental! Meski ini bukan sesuatu yang bisa dibanggakan, tapi di kehidupan sebelumnya aku gak pernah memanggil wanita selain keluargaku dengan nama selain nama keluarga!)

Itulah perasaan jujurku – tapi pada saat yang sama, aku juga paham dari pengalaman di kehidupan sebelumnya bahwa ujian selalu datang tanpa memilih waktu.

Death march yang tiba-tiba, kehilangan seluruh data komputer tanpa peringatan, tenggat waktu proyek yang mustahil secara fisik yang diambil seenaknya oleh bagian penjualan… situasi tidak pernah menunggu kesiapan mentalku.

“Ah, um, etto… ha, ha…”

Mungkin akan sedikit lebih mudah jika bisa mengatakannya dengan dorongan semangat, tapi rasa malu membuatku sulit berkata-kata saat ditatap penuh harap oleh gadis yang kusukai seperti ini.

Namun – tidak diragukan lagi bahwa ini adalah sesuatu yang cepat atau lambat perlu kulakukan.

Jika aku ingin terus mempererat ikatan dengan gadis di hadapanku ini, aku harus kembali mematahkan satu cangkang lagi hari ini.

Karena aku sudah tau bahwa melangkah maju sedikit demi sedikit seperti inilah hal terpenting yang tidak bisa kulakukan di kehidupan sebelumnya.

“… Haruka…”

“Hyaa…!?”

Dengan perasaan bersalah aneh seperti memanggil putri yang cantik tanpa embel-embel, aku mengucapkan tiga huruf itu dengan gemetar.

Rasa malu mewarnai hingga ke ujung kepalaku, tapi pada saat yang sama ada juga perasaan bangga pada diri sendiri karena telah melangkah maju dengan jelas.

“… Kamu baik-baik saja? Apa kamu enggak tiba-tiba mabuk?”

Ketika aku melihat wajah gadis cantik yang berdiri di tepi pantai, matanya terbuka lebar seolah-olah menerima dampak yang kuat, dan entah mengapa wajahnya memerah seakan-akan dia baru saja menghabiskan sebotol sake.

Ini… apakah dia menjadi sangat mabuk karena berlari di sepanjang pantai?

“Fu, fufufufu… se-sedikit… enggak, aku merasa hatiku sedang sangat bergejolak, tapi aku baik-baik saja…! Perasaan melayang-layang ini mungkin hanya ilusi yang akan membuatku berguling-guling di atas tempat tidur setelah reda! Jika aku bilang baik-baik saja, berarti aku baik-baik saja…!”

Sambil mengatakan hal-hal yang sama sekali tidak baik-baik saja, Shijoin-san meletakkan tangannya di dada dan mengatur napasnya, seperti yang kulakukan ketika gelombang besar menghantam hatiku.

Setidaknya, dari luar dia sama sekali tidak terlihat tenang.

Yah, terlepas dari itu––

“Umm… jika selama ini aku terlalu sungkan dan enggak bersikap seperti teman, maka… maafkan aku”

“Eh…”

Jika dipikirkan secara objektif, aku berbicara santai dengan Kazamihara dan Fudehashi seperti teman laki-laki, tapi hanya memperlakukan Shijoin-san dengan sopan.

Memang, tidak salah jika disebut bersikap formal.

Sebaliknya, jika Shijoin-san berbicara santai dengan teman-teman lainnya tanpa menggunakan gaya bicara Ojou-sama nya seperti biasanya, mungkin aku juga akan merasa terasingkan dan kesepian.

“Mungkin gak bisa langsung, tapi… mulai sekarang aku akan berusaha berbicara lebih santai. Jadi… bisakah kamu memaafkanku?”

“Fufufu… akhir-akhir ini mood-ku selalu sangat baik… tapi…”

Meskipun tidak jelas apakah kata-kataku sampai pada Shijoin-san yang tampak linglung, aku tetap mengutarakan apa yang kupikirkan.

Sebagai tanggapan, Shijoin-san menunjukkan senyum yang lebih santai dari biasanya.

“Tapi… terkadang aku senang jika kamu memanggil namaku dengan akrab seperti tadi… Ya? ‘Shinichiro’-kun…”

“Ah, uh… Shi-Shijoin-sa… ah, enggak… ‘Haruka’”

“Fufu… ini terasa menyenangkan…”

Sambil bergumam dengan senyum yang seolah-olah menghayati kebahagiaan, Shijoin-san melangkah mendekatiku.

Di tengah senja yang mulai turun, senyum lembut gadis yang kusukai terlihat semakin menyilaukan.

“Sejak mulai berbicara dengan Niihama-kun… aku selalu merasa senang... hal-hal yang menakutkan semakin berkurang..."

 

TL Note: Emang dari RAW nya diubah lagi jadi Niihama-kun ya.

 

Matanya yang sayu bergetar, dan tubuh Shijoin-san mulai goyah.

Kelelahan setelah bermain sepanjang hari dan mabuk membuat tubuh gadis itu terhuyung-huyung dan kehilangan keseimbangan.

(Ah, bahaya nih…!)

Aku menangkap bahu Shijoin-san yang hampir jatuh ke arahku.

Gadis itu sepertinya benar-benar kehilangan kesadaran, dan tanpa menyadari kondisinya sendiri yang tidak bisa berdiri lagi, dia mengucapkan kata-kata dengan wajah seperti sedang bermimpi.

“Niihama-kun… selalu… memberikanku banyak ‘kebahagiaan’…”

Di tengah suara deburan ombak, Shijoin-san yang hampir kehilangan kesadaran tersenyum polos.

Di dunia yang dipenuhi warna merah senja, aku terpesona oleh kata-kata dan ekspresi perasaan yang murni itu.

“… Bisa bersama… sangat… membahagiakan…”

Setelah mengucapkan kata-kata itu, tubuh Shijoin-san yang kusanggah benar-benar kehilangan tenaga dan mulai bernapas dengan tenang.

Namun, bagiku yang pernah merawat banyak orang mabuk di kehidupan sebelumnya, hal ini masih dalam batas perkiraan, dan aku menopang tubuhnya sebelum jatuh ke tanah, lalu perlahan membaringkannya di pantai.

(Ah, ya ampun… wajah tidurnya benar-benar tanpa pertahanan…)

Sambil merona karena sensasi dan fakta bahwa aku kembali melingkarkan tanganku di punggung dan bahu gadis itu, aku melepas jaketku dan menggelarnya di antara rambut Shijoin-san dan pasir.

Gadis yang tertidur setelah menghabiskan seluruh tenaganya memiliki senyum puas seperti anak kecil yang telah bermain sepuasnya.

“… Musim panas yang menyenangkan ya, Shijoin-san”

Meskipun baru saja memanggil namanya untuk pertama kalinya, karena kebiasaan dan rasa malu, aku kembali menggunakan panggilan seperti biasa.

Di kehidupan sebelumnya, aku bahkan tidak bisa membayangkan pergi ke pantai.

Kali ini, aku mendapatkan kenangan masa muda yang cerah yang tidak pernah kudapatkan sebelumnya.

Aku benar-benar bersyukur telah memberanikan diri untuk mengajak dan mencoba melangkah maju sedikit.

Yah, itu bagus, tapi…

“… Eh? Mungkinkah situasi ini…”

Ketika aku hendak kembali ke tempat yang lain, aku tiba-tiba menyadari sesuatu.

Shijoin-san yang bernapas teratur dalam tidurnya tentu saja tidak bisa bergerak, dan Natsukizaki-san pasti juga tidak bisa meninggalkan tempatnya karena harus mengurus tiga orang yang mabuk.

Jadi––

“Mungkinkah… aku harus menggendong Shijoin-san di punggungku…!?”

Menyadari fakta itu, aku panik di atas pasir pantai dengan cara yang konyol –– namun tidak bisa memikirkan cara lain, dan akhirnya membutuhkan waktu yang cukup lama untuk membuat keputusan terakhir.

 

✽✽✽✽✽

 

[Kepada para pembaca]



Komentar